Rabu, 02 Juni 2010

UAS KHOLIDA 209000329

Makalah Diplomasi

Dosen: Shiskha Prabawaningtyas

Judul:

“Mari Berdiplomasi, Korea Utara”

Oleh:

Kholida Widyawati

209000329

Hubungan Internasional, Universitas Paramadina

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat internasional memang wajar merasa khawatir terhadap penggunaan senjata nuklir, mengingat dahsyatnya dampak yang dihasilkan penggunaan senjata nuklir. Maka dari itu pada 29 Juli 1957 PBB memutuskan untuk membentuk suatu badan yang menjadikan masalah nuklir sebagai fokus perhatiannya, yaitu Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency) yaitu sebuah organisasi independen yang berttujuan mempromosikan penggunaan energi nuklir secara damai serta menangkal penggunaannya untuk keperluan militer, karena dipandang mengakibatkan penderitaan terhadap manusia, baik secara fisik maupun psikologis dan juga bertentangan dengan ketentuan hukum internasional serta hukum-hukum kemanusiaan. Pembentukan badan ini juga menyiratkan bahwa nuklir memang telah menjadi masalah yang serius, dan juga perlu penanganan yang serius agar masyarakat internasional bisa merasa aman dan tenteram. Selain dibentuknya IAEA, dilakukan juga upaya lain dalam mengatasi masalah penggunaan nuklir, yaitu dalam bentuk Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (Nuclear Non-Proliferation Treaty) yang ditandatangani 187 negara di dunia. Perjanjian ini bertujuan untuk mencegah penggunaan dan pengembangan nuklir oleh negara-negara di dunia, termasuk penggunaan nuklir untuk kekuatan militer. Korea Utara termasuk dalam 187 negara yang melakukan Perjanjian Non-Proliferasi nuklir tersebut. Namun, secara mengagetkan pada 10 Januari 2003, Korea Utara menyatakan diri bahwa keluar dari perjanjian tersebut. Dua tahun berikutnya, dalam berita yang tidak kalah mengagetkan Korea Utara mengaku memiliki sejumlah nuklir aktif yang digunakan untuk kepentingan militer negaranya. Hal ini jelas saja membuat masyarakat internasional benar-benar merasa terganggu dan kembali merasakan keresahan akan pengembangan nuklir oleh Korea Utara.

1.2 Rumusan Masalah

Tindakan apa yang sebaiknya diusahakan dunia global untuk menuntun Korea Utara kembali ke dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir?

1.3 Kerangka Pemikiran

Dalam mengatasi krisis nuklir yang terjadi di Korea Utara, negara-negara yang mencoba ‘menaklukkan’ Korea Utara hampir seluruhnya menggunakan First Track Diplomacy. Hal ini dikarenakan Korea Utara merupakan negara yang bersifat sangat tertutup terhadap dunia luar, sehingga sangat tidak memungkinkan bagi negara-negara tersebut untuk melakukan diplomasi dengan cara lain. First Track Diplomacy digunakan dalam upaya penyelasaian krisis nuklir Korea Utara ini karena menurunkan aktor-aktor negara, seperti pejabat pemerintah untuk mengadakan negosiasi terhadap Korea Utara. Yang bisa dilakukan di dalam penyelesaian krisis ini adalah dengan mengadakan perjanjian resmi, yang bisa mempertemukan pihak-pihak (tentunya dari aparat pemerintahan) masing-masing negara untuk bernegosiasi, membicarakan cara terbaik untuk menyelesaikan kasus krisis nuklir Korea Utara demi kepentingan dunia internasional.

First Track & Second Track Diplomacy

Sumber: Track One and a Half Diplomacy and the Complementarity of Tracks [online]. dalam www.copoj.ca/jeffrey.pdf

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Pengembangan Nuklir Korea Utara

Negara komunis ini pertama kali memperoleh rudal-rudal taktis dari Uni Soviet pada awal 1969. Namun, rudal-rudal Scud pertama dilaporkan datang melalui Mesir pada 1976. Kairo memasok peluru kendali Scud B kepada Pyongyang dengan imbalan berupa bantuan melawan Israel dalam Perang Yom Kippur 1973.[i] Seiring dengan semakin berkembangnya nuklir di Korea Utara, AS kerap melakukan diplomasi kepada Korea Utara agar mau menandatangani perjanjian non-prolefirasi nuklir. Dan pada akhirnya usaha AS membuahkan hasil, karena pada akhir tahun 1985 Korea Utara setuju untuk menandatangani perjanjian tersebut.[ii]

Dimulai pada pada 9 Oktober 2006, Korea Utara berhasil melakukan uji coba nuklir pertamanya, yang diuji pada sebuah terowongan di pantai timur. Ledakan dari uji coba perdana itu menimbulkan gempa berkekuatan 4,2 Body Wave Magnitude yang langsung mendapatkan banyak protes dari dua negara terdekatnya, Korea Selatan dan Jepang. Uji Coba ini dianggap mengancam stabilitas regional (Asia Timur), melanggar kehendak DK-PBB dan menggagalkan usaha-usaha dunia untuk mensukseskan Non-Proliferasi Nuklir. Pada saat itu, Korea tentu saja mendapat reaksi berupa kecaman yang sangat keras dari masyarakat internasional dan PBB. Korea Utara untuk segera menghentikan program pengembangan nuklirnya dan kembali dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir[iii], dimana dulu negara ini sempat berada di dalamnya. Jika tidak, maka DK-PBB akan mengambil tindakan yang lebih keras untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

Pada tahun 2008, Korea Utara bersedia untuk mengikuti kehendak masyarakat internasional, tetapi mengajukan persyaratan yang berhubungan dengan tujuannya mengadakan pengembangan nuklir.

Tetapi, belum genap satu tahun, pada Mei 2009, Korea Utara meluncurkan rudal diatas Jepang yang dikatakan Korea Utara sebagai rudal pengecek cuaca. Hal ini memicu kembali kemarahan dunia internasional terhadap Korea, karena dianggap mengganggu ketentraman negara lain, dalam kasus ini Jepang. Oleh karena itu, Jepang kemudian meminta Dewan Kemanan PBB untuk menjatuhkan sanksi kepada Korea Utara berdasarkan Bab Tujuh dari Piagam PBB yang berisikan aturan tentang “ancaman terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan agresi”. Maka semakin gencarlah embargo yang dilancarkan negara-negara di dunia kepada Korea Utara dan Korea Utara menjadi semakin diisolasi dunia. Perwakilan Energi Atom Internasional melaporkan bahwa uji coba nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara telah melanggar rezim anti pengembangbiakan bahan nuklir dan juga telah menimbulkan konflik keamanan yang cukup serius, tidak hanya pada kawasan Asia Timur tetapi juga untuk seluruh masyarakat Internasional.

Di Korea Selatan, warga Seoul melancarkan aksi unjuk rasa terhadap program pengembangan nuklir di Korea Utara. Sedangkan di Korea Utara sendiri, aksi unjuk rasa juga dilakukan warga Pyogyang untuk mengecam Resolusi yang dikeluarkan PBB terkait program pengembangan nuklir Korea Utara. Selain itu Pyongyang juga menanggapinya dengan memperkuat program nuklirnya dan mengumumkan akan memproduksi plutonium dan uranium lebih banyak untuk pembuatan bom nuklir.[iv]

2.2 Tujuan Pengembangan Nuklir yang dilakukan Korea Utara

Korea Utara mengerjakan program pengembangan nuklir yang sangat ditentang dan dikecam oleh dunia global tentunya bukan tanpa alasan. Terlebih, Korea Utara sebelumnya mengikutsertakan negaranya dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir.

Sejarah mencatat bahwa walaupun konsepsi kebutuhan nasional relatif tidak mengalami perubahan yang signifikan, menariknya, setiap pemimpin mempunyai gaya tersendiri dalam melakukan diplomasi.[v] perdamaian internasional tidak mungkin dipelihara melalui pembatasan kedaulatan nasional dan melalui hubungan nasional semata-mata, demikian pula perdamainan internasional melalui transformasi belum lagi dapat dicapai dalam kondisi sosial, politik dan moral semacam ini.[vi]

Pengembangan nuklir Korea Utara merupakan instrumen bagi negara komunis itu untuk melakukan diplomasi terhadap negara lain. Korea Utara sangat mencuri perhatian dunia dengan keluar dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Kemudian setelah itu banyak negara berupaya membujuk Korea Utara untuk menghentikan program pengembangan nuklirnya. Korea Utara tentu tidak begitu saja mau mengalah untuk menghentikan program pengembangan nuklirnya.

Korea Utara sebagai sebuah negara tentunya melaksanakan kegiatan politik untuk negaranya. Salah satunya adalah dengan pengembangan nuklir. Politik semacam ini dapat dikategorikan ke dalam Politik Prestise, yaitu pencerminan dasar ketiga dari perjuangan menuju power di dunia internasional.[vii] Salah satu cara untuk menjalankan politik ini adalah dengan memperagakan kekuatan militer , karena kekuatan militer adalah gambaran jelas tentang power suatu negara dan tujuan diperagakannya kekuatan militer ini adalah untuk mengesankan negara lain atas negara tertentu, dalam hal ini Korea Utara. Militerisme adalah konsepsi yang berpendapat, bahwa power suatu negara, terutama kalau tidak satu-satunya adalah kekuatan militer.[viii]

Ini dirasa Korea Utara sebagai cara yang sudah benar. Korea Utara menggunakan nuklir sebagai instrumen negosiasi yang dapat digunakan terhadap negara-negara lain. Tetapi, pemikiran negara-negara lain sayangnya tidak sama dengan apa yang ada dalam pikiran Korea Utara. Negara-negara lain menganggap itu merupakan rezim kolot yang masih dianut oleh Korea Utara.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang sangat mengutuk pengadaan nuklr di Korea Utara. Negara ini telah melakukan banyak upaya untuk membuat Korea Utara mau kembali melibatkan diri dalam Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir. Salahsatunya seperti yang dimuat dalam Rakyat Merdeka Online Minggu, 12 Oktober 2008. Atas kesediaan Korea Utara menghentikan proyek nuklir, Amerika Serikat sepakat untuk mengirimkan minyak bumi ke Korea Utara sebesar 500 ribu metrik ton per tahun untuk mengatasi krisis energi di Korea Utara. Amerikaj uga berjanji akan mengirimkan berton-ton gandum. Sebagai tambahan, Amerika Serikat bahkan menjamin tidak akan pernah menyerang Korea Utara.

2.3 Upaya yang dilakukan untuk Berdiplomasi dengan Korea

keputusan Korea Utara untuk mengembangkan nuklir di negaranya merupakan sikap yang banyak menimbulkan kontra dari berbagai negara di dunia. Salah satu negara itu adalah Amerika Serikat. Maka tidak heran bahwa faktanya Amerika Serikatlah yang sering melakukan upaya negosiasi terhadap Korea Utara. Hal ini juga dikarenakan peran Amerika Serikat yang selama ini mendominasi di dunia. Amerika Serikat juga dianggap sebagai negara yang mempunyai power yang cukup kuat dalam upaya penyelesaian krisis nuklir Korea Utara.

Amerika Serikat telah berupaya membawa Korea Utara untuk menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir dan berhasil, walaupun kenyataannya pada akhirnya Korea Utara memutuskan untuk tidak lagi menyetujui dan keluar dari perjanjian itu beberapa tahun kemudian. Amerika Serikat juga telah banyak mengirimkan perwakilan negaranya ke Korea Utara untuk melakukan negosiasi terhadap aparat pemerintah Korea Utara, namun tidak juga terlihat hasilnya.

Dari beberapa presiden yang menjabat di Amerika Serikat, Bill Clinton dan George W. Bush dianggap paling banyak mengupayakan negosiasi terhadap Korea Utara. Upaya-upaya diplomasi yang dilakukan Amerika selama ini belum bisa dikatakan berhasil. Baik diplomasi yang dilakukan oleh Clinton maupun Bush. Reaktor-reaktor nuklir Korea Utara belum berhasil ditutup sepenuhnya. Korea Utara sendiri terkesan mengulur-ngulur waktu dan mencoba mendapatkan hasil negosiasi yang lebih baik. Rektor-reaktor nuklir tersebut adalah kartu truf Korea Utara dalam berbagai perundingan yang dilakukannya bersama Amerika Serikat. Dan Korea Utara tampaknya tidak akan semudah itu untuk menyerahkan kartu truf nya kepada Amerika Serikat. Dibalik itu masih ada program pengembangan misil yang dimiliki Korea Utara. Kedua hal ini akan menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan bagi Bush dan calon pengganti Bush pada pemilihan presiden Amerika mendatang.

Selain Amerika Serikat, negara-negara terdekat Korea Utara seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina juga ikut turun tangan dalam upaya penyelesaian krisis nuklir di Korea Utara. Hal ini sangat masuk akal, karena mereka sebagai negara-negara yangs secara geografis letaknya dekat dengan Korea Utara, sangat merasa terganggu atas adanya uji coba nuklir yang terus dilakukan Korea Utara. Ketiga negara ini kemudian mengadakan KTT Segitiga yang diselenggarakan di Pulau Jeju, Korea Selatan. KTT ini direncanakan akan diadakan secara rutin, yakni sekali dalam setahun. Masalah-masalah yang dibahas termasuk upaya-upaya yang sedang dilakukan untuk membujuk Korea Utara kembali ke perundingan enam negara, persoalan-persoalan aktual regional dan internasional terakhir, serta cara-cara untuk menindaklanjuti kerjasama segitiga tersebut. Perundingan-perundingan enam negara yang melibatkan kedua Korea, Amerika Serikat, Jepang, China dan Rusia bertujuan untuk membujuk Pyongyang melepaskan program nuklirnya. Negara komunis itu telah melakukan uji coba dua senjata nuklir meskipun telah diperingatkan oleh masyarakat internasional.

KTT mendatang itu, adalah pertemuan puncak ketiga yang diadakan oleh para pemimpin negara Asia Timur Laut tersebut. Sedangkan perundingan ketiga menteri luar negeri akan menjadi pertemuan keempat antara mereka. Baik pertemuan tingkat menlu maupun KTT akan dipimpin oleh negara tuan rumah.[ix]

saat kunjungan Wen (Korea Utara) mengatakan bahwa pihaknya bersedia kembali ke perundingan perlucutan senjata nuklir enam negara yang ditinggalkannya April. Namun, dengan syarat pihaknya berkesempatan untuk melakukan perundingan bilateral langsung dengan AS. Washington mengatakan setuju melakukan perundingan bilateral hanya dalam kerangka perundingan enam negara. AS juga menegaskan, sasaran perundingan hendaknya bertumpu pada dihentikannya program senjata nuklir Pyongyang. Para pejabat di Seoul juga mengatakan, Lee ingin menyampaikan apa yang dia sebut sebagai ’posisi tawar yang besar’ untuk perlucutan nuklir Korea Utara. Korea Selatan belum menjelaskan secara rinci mengenai rencananya itu. Perundingan-perundingan enam negara sebelumnya telah mencapai kesepakatan. Korea Utara setuju untuk membongkar fasilitas dan bahan baku nuklirnya dengan imbalan paket bantuan energi dan jaminan keamanan..[x]

BAB III

PENUTUP

Telah banyak upaya yang dilakukan negara-negara di dunia untuk menghentikan krisis nuklir Korea Utara. Hal ini dikarenakan pengembangan nuklir Korea Utara telah berakibat mengganggu ketentraman dan rasa aman masyarakat dunia, khususnya di negara-negara yang letaknya secara geografis dengan Korea Utara. Tetapi, national interest Korea Utara tetap menjadi pertimbangan utama negara komunis itu untuk tetap melanjutkan pengembangan nuklir. Selain itu, dari pengembangan nuklir yang dilakukan Korea Utara, negara yang mengisolasi diri dari dunia luar itu juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk bantuan-bantuan dari negara-negara yang bernegosiasi dengannya. Nuklir memang telah menjadi alat negosiasi yang menguntungkan bagi Korea Utara. Kerjasama-kerjasama yang dapat dilakukan adalah dengan mensyaratkan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Karena pada dasarnya, negara juga akan kesulitan untuk bertahan tanpa melakukan kerjasama dengan negara lain, karena negara tidak memiliki sendiri segala yang dibutuhkan.



[i] Dikutip dari http://rioardi.wordpress.com/2009/04/, diakses pada tanggal 23 Mei 2010.

[ii] http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/cumings.htm

[iii] Perjanjian tersebut menyatakan bahwa setiap negara yang menandatangani perjanjian berarti setuju atas adanya pasukan penjaga keamanan dan tim inspeksi fasilitas nuklir yang dilakukan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Tujuannya adalah untuk meyakinkan negara-negara di dunia bahwa negara tersebut tidak sedang membangun fasilitas nuklir yang diam-diam dan mengeskpor teknologi nuklirnya kepada negara lain (Viotti dan Kauppi 1997, 181).

[v] Dikutip dari Jurnal Demokratisasi Diplomasi, Bima Arya Sugiarto

[vi] dikutip dari Perang atau Damai dalam Wawasan Politik Internasional, oleh Drs. Dahlan Nasution, Dipl.IR, Penerbit Remadja Karya CV Bandung 1998. Hlm.211

[vii] Ibid. halaman 48

[viii] Ibid. halaman 108

[x] Dikutip dari http://www.bogor.net/index.php?view=article&catid=44%3Aluar-negeri &id=1937%3Aktt-segitiga-di-china-fokus-pada-korut&format=pdf&option=com_content, diakses pada tanggal 8 April 2010 pukul 13:07.

Daftar Pustaka

Internet:

http://internasional.tvone.co.id/berita/view/35842/2010/04/04/korsel_jepang_china_gelar_ktt_segitiga/

http://www.bogor.net/index.php?view=article&catid=44%3Aluar-negeri &id=1937%3Aktt-segitiga-di-china-fokus-pada-korut&format=pdf&option=com_content

http://www.bogor.net/index.php?option=com_content&view=section&layout=blog&id=8&Itemid=58

http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/cumings.htm

http://rioardi.wordpress.com/2009/04/

Buku:

Nasution, Dahlan. Perang atau Damai dalam Wawasan Politik Internasional. 1998. oleh Penerbit Remadja Karya CV: Bandung.

Jurnal:

Demokratisasi Diplomasi, Bima Arya Sugiarto.

1 komentar:

  1. Tidak ada referensi buku? Hanya internet saya? Judul tulisan lebih bersifat popular,hindari. Interesting article. Akan lebih baik jika pembahasan tentang bentuk dan proses diplomasi dilakukan secara lebih detail dan kritis. Seringklai kali paparan tentang proses tidak disertaikan informasi tentang periode.

    BalasHapus