Rabu, 02 Juni 2010

UAS KARINA KUSUMA 209000149

PENGANTAR DIPLOMASI

STUDI KASUS :

PERAN UNI AFRIKA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DARFUR, SUDAN

MAKALAH

Dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester (UAS)

Mata Kuliah Pengantar Diplomasi

Semester Genap

Tahun Akademik 2009 – 2010

Dosen : Shiskha Prabawaningtyas

Dibuat Oleh :

Karina Kusuma 209000149

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN

UNIVERSITAS PARAMADINA

JAKARTA 2010

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudan yang berarti tanah (orang – orang hitam) adalah suatu negara di benua Afrika yang memiliki banyak konflik yang terjadi, baik konflik eksternal maupun konflik internal. Konflik – konflik ini sudah bermunculan sejak tahun 1504, masa dimana wilayah Sudan mulai dipengaruhi kultur Arab dari Mesir. Sejak saat itu, konflik – konflik semakin memenuhi sejarah Sudan. Konflik sejak masa kolonialisme oleh Mesir hingga Inggris hingga konflik internal yang terjadi setelah kemerdekaan Sudan pada tahun 1956.[1]

Banyak sekali kelompok – kelompok kepentingan yang menimbulkan konflik berkelanjutan di Sudan. Dari kelompok National Unionist Party (NUP), Umma Party, National Islamic Front (NIF) yang bermunculan di tengah – tengah pemerintahan Sudan, hingga Sudanese Liberation Movement/Army (SLM/A) dan Justice and Equality Movement (JEM) yang melatar belakangi konflik yang terjadi di Darfur.

Konflik Darfur inilah yang hingga saat ini masih menjadi masalah besar bagi Sudan. Karena hingga saat ini korban berjatuhan sudah mencapai 200,000 orang, sedangkan konflik Darfur ini belum terselesaikan sepenuhnya dan masih membutuhkan penyelesaian yang berarti. Sehingga kondisi negara Sudan pun belum bisa dikatakan mencapai posisi stabil.

Darfur, adalah sebuah wilayah di Negara Sudan yang berarti “tanah Bangsa Fur”. Wilayah ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu Gharb Darfur (Darfur Barat), Janub Darfur (Darfur Selatan), dan Shamal Darfur (Darfur Utara). Darfur didiami oleh 2 kelompok suku besar, yaitu suku hitam Afrika yang disebut dengan suku Fur dan bangsa Arab. Walaupun saat ini sangat sulit untuk membedakan kedua suku ini, karena sudah banyak dilakukan perkawinan campur diantara kedua suku ini, tetapi hal ini tidak mengurangi konflik yang terjadi diantara 2 suku ini.

Awalnya, konflik yang terjadi di Darfur adalah konflik – konflik tradisional mengenai lahan yang bisa terjadi antar suku maupun inter suku itu sendiri, yang kemudian terus berkembang hingga menimbulkan konflik yang lebih besar mengenai kesetaraan ras. Hal inilah yang menjadi awal pecahnya perang suku dan pemberontakan terhadap pemerintah daerah Darfur itu sendiri dan pemerintahan Sudan secara keseluruhan.

Pemicu utama dari konflik ini adalah ketika pada masa pemberontakan di Sudan Selatan oleh SPLM/A, etnik Baggara yang berasal dari ras Arab, dilatih dan dipersenjatai oleh pemerintah untuk ikut membantu mengamankan daerah Darfur. Dan kerjasama ini terus berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Bashir pada tahun 2001 yang memberikan kekuasaan penuh di pemerintahan Darfur kepada etnik – etnik Arab tersebut. Di lain sisi, para milisi dari etnik Fur, yang merasa tidak diperhatikan dan dianak tirikan oleh pemerintah, akhirnya bergabung dalam suatu gerakan yang dilatih oleh etnik Zaghawa dari ras kulit hitam Afrika yang sebelumnya telah mendapatkan latihan dari tentara Sudan dan Chad. Hingga akhirnya mereka membentuk suatu gerakan yang dinamai “Front Pembebasan Darfur” atau Darfur Liberation Front (DLF) yang pada akhirnya berubah nama menjadi Sudanese Liberation Movement/Army (SLM/A) dan Justice and Equality Movement (JEM).[2]

Sejak Februari 2003, kelompok – kelompok ini mulai menyerang posisi – posisi militer dan dan pemerintahan wilayah Darfur. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan kesetaraan dalam berpolitik dan berpartisipasi dalam pemerintahan wilayah Darfur. Penyerangan – penyerangan inilah yang pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan Sudan, khususnya di wilayah Darfur dan menimbulkan ratusan ribu korban jiwa, bencana kelaparan dan peningkatan kemiskinan di Sudan.

Atas dasar inilah Sudan yang terdaftar sebagai salah satu anggota Uni Afrika, akhirnya mendapatkan perhatian yang lebih di mata dunia internasional, sehingga membuat Uni Afrika harus ikut turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini. Karena sebagai wadah bagi negara – negara di Afrika, Uni Afrika memiliki tanggung jawab yang besar untuk mengakhiri konflik tersebut.

1.2 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam menjelaskan dan menganalisa “ Peran Uni Afrika Dalam Menyelesaikan Konflik Darfur” adalah teori – teori konflik baik yang berupa resolusi maupun mediasi serta intervensi ke dalam konflik. Khususnya dalam teori konflik etnik. Selain itu, pendekatan lainnya yang akan digunakan yaitu teori peran dan fungsi organisasi regional yang dapat dikategorikan sebagai organisasi internasional serta teori diplomasi.

Dalam studi konflik, secara umum konflik dapat diartikan sebagai hubungan yang muncul antara dua pihak atau lebih yang memiliki atau yang merasa lebih memilki sasaran – sasaran yang tidak sejalan.[3] Konflik biasanya dimulai dengan adanya perbedaan kepentingan yang tidak dapat disatukan yang kemudian membawa pada pertikaian secara berkelanjutan. Konflik akan berkembang menjadi kekerasan jika perbedaan kepentingan tersebut kemudia ditindaklanjuti dengan berbagai aksi atau sikap terstruktur secara fisik, mental, sosial maupun lingkungan.[4]

Adapun konflik etnik yang biasa disebut etno-politik atau etno-nasional itu sendiri dapat diartikan sebagai konflik dimana pihak – pihak yang bertikai mendefinisikan dirinya dengan menggunakan kriteria komunal dan mengemukakan tuntutan – tuntutan atas nama kepentingan kolektif kelompoknya terhadap negara atau terhadap komunal lainnya.[5]

David Levinson dalam bukunya Ethnic Relations : a Cross-Cultural Encyclopedia memetakan tipe – tipe konflik etnis sebagai berikut :[6]

1. Gerakan separatism

2. Gerakan internal untuk mendapatkan otonomi, kekuasaan politik, atau control wilayah

3. Penaklukan

4. Tindakan mempertahankan diri

5. Pencaplokan

Salah satu metode atau pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan konflik antara pihak – pihak yang bertikai adalah dengan masuknya orang ketiga dalam sebuah konflik atau yang dikenal sebagai intervensi. Dengan harapan bahwa pihak ketiga ini mampu memainkan sejumlah peran sehingga konflik menggunakan kekerasan dapat dihentikan.

Teori selanjutnya yang akan digunakan adalah teori organisasi internasional yang secara langsung berkaitan dengan Uni Afrika. Secara singkat, Bowet, DW dalam bukunya The Law of International Institution mendefinisikan organisasi internasional sebagai berikut :

“….and no generally accepted definition of the public international has ever been reached. In general, however, they were permanent associations (i.e. postal or railway administration), based upon treaty of multilateral rather than a bilateral type and with some definite criterion of purposes.”[7]

Dari definisi diatas, Uni Afrika jelas merupakan salah satu organisasi internasional yang khususnya layak disebut sebagai organisasi regional karena cakupan negara nggotanya yang hanya terbatas pada negara – negara di kawasan Afrika. Dan secara umum, organisasi regional memang memiliki keanggotaan yang terbatas pada suatu kawasan tertentu, tetapi mempunyai kepentingan yang relative luas.

Pada suatu organisasi regional yang bersifat fungsional, sudah pasti memiliki fungsi dalam menjalankan akivitasnya. Fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yang berhubungan dengan pemberian bantuan dalam mengatasi masalah yang sedang terjadi terhadap pihak yang terkait. Dan dari fungsi tersebut, akan menampilkan sejumlah peranannya dalam suatu konflik, yaitu sebagai :

1. Inisiator

2. Fasilitator

3. Mediator

4. Rekonsiliator

5. Determinator [8]

Serta melakukan operasi – operasi penciptaan perdamaian (peace-making), penjaga perdamaian (peace-keeping) dan pembangunan perdamaian (peace-building).

Dalam upaya menyelesaikan sebuah konflik internal, organisasi regional memiliki keuntungan dan kelebihan dalam hal kedekatan dengan sumber konflik serta mengenal dekat pelaku utama konflik, nilai budaya mereka serta kondisi lokal wilayah konflik.

Terakhir, teori yang akan digunakan adalah teori diplomasi. Berdasarkan kamus Oxford, diplomasi dapat diartikan sebagai manajemen relasi diantara negara-negara melalui negosiasi[9]. Lester Pearson pernah berkata bahwa “diplomasi tidak merumuskan kebijaksanaan, tetapi menyampaikan dan menjelaskan kebijaksanaan itu dan mencoba merundingkan pengaturan-pengaturan baru.”[10] Diplomasi, menurut A.M. Taylor, mencerminkan suatu upaya membuat “kebajikan dari suatu keterpaksaan”[11].

Dalam teori diplomasi, terdapat tiga gaya diplomasi. [12] Pertama, persuasi dan kompromi. Persuasi dan kompromi dilakukan untuk membujuk lawan berunding dengan cara menghimbau mereka bersedia mencapai apa yang disebut attachment. Kompromi ini dilakukan untuk menghasilkan persetujuan yang sama-sama memuaskan semua pihak. Gaya diplomasi yang kedua adalah gaya bujukan (inducement) dan tekanan (pressure). Cara ini lazim disebut diplomasi koersif yang menggunakan kekuatan militer untuk mendukung kebijaksanaan yang diambil. Strategi diplomasi ini hanya dapat dilakukan dengan adanya komunikasi dan kredibilitas suatu negara yang jauh lebih besar di atas negara lain. Ancaman yang digunakan dalam diplomasi koersif ini biasanya hanya bujukan dan perkataan. Gaya diplomasi yang terakhir ialah menggunakan media (pihak ketiga) apabila suatu sengketa antar dua negara tidak dapat lagi mencapai kata sepakat atau tidak tercapainya persetujuan antara dua pihak yang bersengketa. Sebagai konsekuensi adanya mediator ini, intervensi dari pihak ketiga harus diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Faktor – Faktor yang Mendorong Uni Afrika dalam Penyelesaian Masalah Darfur, Sudan

Dalam Arikel “Conflict Resolution in Africa”, Guy Martin menyatakan bahwa untuk menjelaskan dan menganalisa konflik – konflik yang terjadi di Afrika, dibutuhkan suatu pandangan dan pendekatan yang sistematis terhadap sejarah konflik itu sendiri.[13] Koflik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Perjuangan antara individu, keluarga, suku dan kelompok etnis serta negara untuk dapat menguasai sumber – sumber ekonomi demi kelangsungan hidup kelompoknya masing – masing, menurut Guy Martin seringkali menyebabkan benturan antar kelompok masyarakat tersebut dan menjadi faktor penyebab terjadinya konflik.[14]

Pandangan Martin ini dapat pula diterapkan untuk menganalisa konflik etnis yang terjadi di Darfur. Karena dalam kasus ini, Uni Afrika sebagai pihak ketiga yang ingin membantu menyelesaikan masalah ini, harus dapat melihat dan mencermati posisi setiap pihak yang bertikai. Sehingga dengan demikian, semua pihak dapat menerima keputusan – keputusan yang diambil oleh pihak ketiga dalam proses penyelesaian konflik tersebut.

Konflik yang terjadi di Darfur, sudah bukan hanya menjadi masalah bagi Sudan sendiri, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Karena konflik yang terjadi di Sudan, sudah masuk ke dalam krisis kemanusiaan dimana memakan korban sipil hingga ratusan ribu orang dan menimbulkan jumlah pengungsi yang mencapai 1 juta orang. Maka dari itu pihak ketiga sangat diharapkan untuk membantu menyelesaikan maalah ini. Dimana pihak ketiga dapat berfungsi sebagai aktor manajemen konflik dan membawa pihak – pihak yang bertikai kedalam sebuah perundingan dan penghentian konflik.

Dan di dalam masalah ini, pihak ketiga yang paling memiliki kedekatan dan kewenangan untuk ikut menyelesaikan masalah Darfur adalah Uni Afrika. Dimana terdapat beberapa faktor yang mendorong Uni Afrika untuk terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Darfur. Secara internal, faktor yang mendorong Uni Afrika untuk menyelesaikan masalah Darfur, datang secara langsung dari komitmen Uni Afrika sendiri untuk terlibat dalam penyelesaian konflik di negara – negara anggotanya sesuai dengan prinsip – prinsip dan tujuan dibentuknya Uni Afrika. Dimana Piagam Uni Afrika memberikan batasan bagi kedaulatan negara anggotanya, yaitu kedaulatan negara bersifat kondisional, dan diartikan sebagai kemampuan negara untuk memberikan perlindungan dan keamanan bagi warganegaranya. Dan semakin ditegaskan oleh Pasal 4 Piagam Uni Afrika yang dengan tegas menyatakan bahwa Uni Afrika berhak mengintervensi negara anggotanya berdasarkan keputusan Majelis setelah melihat adanya kejahatan perang, genosida, dan pelanggaran terhadap kemanusiaan.[15]

Selain faktor internal diatas, terdapat pula faktor eksternal yang mendorong Uni Afrika untuk ikut terlibat dalam penyelesaian masalah Darfur. Yaitu munculnya konsep Responsibility to Protect pada tahun 2001 yang memungkinkan masuknya pihak asing kedalam suatu konflik. Dimana Sudan sebagai sebuah negara yang secara dekat dan langsung menjadi anggota dari Uni Afrika. Sehingga membuka peluang Uni Afrika untuk turut serta dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di Darfur. Selain itu juga, Uni Afrika didorong oleh masyarakat dunia, khususnya organisasi – organisasi internasional lainnya seperti PBB dan Uni Eropa untuk menyelesaikan masalah Darfur. Karena masyarakat internasional merasa, bahwa Uni Afrika lah yang paling berhak untuk masuk dan ikut dalam penyelesaian konflik Darfur tersebut.

2.2 Peran Uni Afrika Dalam Penyelesaian Konflik Darfur

Dalam penyelesaian Konflik Darfur ini, Uni Afrika memainkan setidaknya empat peran penting, yaitu sebagai fasilitator, mediator, monitoring, hingga sebagai peace maker. Semua hal ini dilakukan berdasarkan inisiatif Uni Afrika untuk secepatnya menyelesaikan konflik yang terjadi di Darfur tersebut.

2.2.1 Fasilitator Perundingan Damai

Langkah awal yang dilakukan oleh Uni Afrika dalam upaya menyelesaikan konflik di Darfur dimulai dengan fungsinya sebagai fasilitator. Dimana Uni Afrika mendatangi pihak – pihak yang bertikai dan berusaha meyakinkan pihak – pihak tersebut untuk melakukan perundingan damai.

Proses ini dimulai dengan mengirimkan utusan Khusus Dewan Keamanan Uni Afrika, Baba Gana Kingibe ke Chad dan Sudan. Pada saat berada di Chad pada 5 Maret 2004, Baba Gana Kingibe menemui sejumlah pejabat pemerintahan Chad dan meminta agar Presiden Chad, Iddris Deby meneruskan upaya mediasi terhadap pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak disana, karena Chad, sebagai negara yang terletak bersebelahan secara geografis merasakan dampak dari konflik tersebut.

Setelah melakukan kunjungan ke Chad, pada tanggal 10 maret 2004 Baba Gana Kingibe mengunjungi Sudan dan mengadakan pertemuan dengan sejumlah pejabat pemerintahan Sudan, termasuk wakil Presiden Ali Osman Taha. Dalam pertemuan tersebut, Kingibe menyampaikan kepedulian Uni Afrika terhadap kondisi kemanusiaan di Darfur serta menyatakan kesediaan dan kesiapan Uni Afrika dalam rangka membantu penyelesaian konflik Darfur secara menyeluruh.[16]

Hasil kunjungan Kingibe ke Chad dan Sudan tersebut, akhirnya membuat Dewan Keamanan Uni Afrika mengutus sebuah tim yang dipimpin olh Sam Ibok –Direktur Dewan Keamanan Uni Afrika ke N’djamena, Chad guna membawa pihak – pihak yang bertikai di Darfur ke meja perundingan serta mempersiapkan rencana pertemuan untuk kemudian mengadakan perundingan damai antara pihak – pihak yang bertikai di Darfur yang dikenal sebagai interSudannese meetings on Darfur.

2.2.2 Mediator Perundingan Damai

Setelah memfasilitasi jalannya perundingan, Uni Afrika memainkan perannya sebagai mediator bagi pemerintah Sudan dan dua kelompok pemberontak (SLA/M dan JEM) dalam perundingan tersebut. Uni Afrika terus mengupayakan agar kedua pihak tersebut mengadakan perundingan dan negosiasi untuk menyelesaikan konflik tersebut.

Upaya tak kenal lelah dari Uni Afrika dalam melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak akhirnya membuahkan hasil nyata pada tanggal 8 April 2004, setelah melakukan banyak perundingan di N’djamena sejak 31 Maret 2004, akhirnya pemerintah Sudan dan kedua kelompok pemberontak tersebut menandatangani Humanitarian Ceasefire Agreement (HCFA) serta Protocol On The Establishment of Humanitarian Assistance In Darfur ( Protokol Pembentukan Badan Bantuan Kemanusiaan di Darfur) yang salah satunya mengatur persetujuan gencatan senjata bagi pihak – pihak yang sedang bertikai.

Perjanjian HCFA yang ditandatangani oleh pihak – pihak yang bertikai memberikan landasan hukum bagi Uni Afrika untuk terlibat lebih aktif dalam upaya penyelesaian ini. Dalam setiap perundingan damai, masing – masing pihak memiliki tuntutannya tersendiri, sehingga Uni Afrika melakukan pendekatan persuasif kepada setiap pihak untuk menjembatani perbedaan pandangan tersebut.

2.2.3 Pengawas Kesepakatan Gencatan Senjata

Seperti dalam kesepakatan HCFA, akhirnya pada tanggal 28 Mei 2004 bertempat di Addis Ababa, Ethiopia, dibentuklah Ceasefire Commission (CFC) dan Joint Commission (JC) sebagai badan pengawas bagi implementasi jalannya HCFA oleh kedua belah pihak. Seperti yang sudah disepakati sejak awal, CFC dibentuk dan diketuai langsung oleh Uni Afrika, sedangkan wakil ketua akan diserahkan kepada Uni Eropa sebagai representative dari masyarakata internasional. Anggota CFC sendiri terdiri dari perwakilan – perwakilan Uni Afrika, pemerintah Sudan, serta SLA/M dan JEM. Yang secara teknis pelaksanaannya diberi nama Africa Union Monitoring Mission yang pada perkembangan selanjutnya berubah menjadi misis Uni Afrika di Sudan atau sering dikenal dengan African Union Mission in Sudan (AMIS).

Dalam perjalanannya, dari pengamatan yang dilakukan oleh AMIS tersebut, terindikasi banyaknya pelanggaran yang dilakukan baik oleh pemerintah Sudan, maupun pihak – pihak pemberontak. Hingga pada akhirnya diputuskan untuk menempatkan pasukan Uni Afrika untuk melindungi tugas – tugas CFC dan melucuti senjata Janjaweed.

2.2.4 Operasi Perdamaian

Karena masih terjadinya pelanggaran gencatan senjata oleh pihak – pihak yang bertikai, serta resiko yang cukup besar bagi para petugas CFC, akhirnya pada tanggal 27 Juli 2004, Dewan Keamanan Uni afrika akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pasukan Afrika dalam rangka memperkuat peran CFC, melindungi para pengamat CFC, melucuti para tentara Arab Janjaweed, serta mengembangkan misi menjadi misi penjaga perdamaian.

Hingga akhirnya setelah CFC diperbaharui menjadi AMIS, ruang lingkup serta cakupannya menjadi lebih luas. Bukan hanya berusaha melakukan pengawasan, tetapi juga bertugas untuk mengamankan keadaan. Karena AMIS diberi kewenangan menggunakan senjata, tidak seperti CFC sebelumnya. Walaupun AMIS menerapkan non-deadly force ketka berhadapan dengan kelompok – kelompok pemberontak di Darfur. Operasi – operasi inilah yang disebut operasi perdamaian yang dilakukan olehn Uni Afrika.

BAB III

KESIMPULAN

Konflik yang terjadi di Darfur, Sudan, hingga saat ini masih menjadi focus masalah bagi Uni Afrika sebagai organisasi regional yang menaungi negara tersebut. Konflik yang terjadi di Darfur ini, sudah bukan menjadi masalah internal bagi Sudan, tetapi juga sudah menjadi masalah bagi seluruh masyarakat dunia beserta komponen – komponennya. Karena konflik ini sudah berkembang menjadi masalah kemanusiaan dimana korban dari konflik disini adalah masyarakat – masyarakat sipil yang seharusnya dilindungi hukum humaniter internasional.

Pemerintah Sudan, yang seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini, malah ikut terlibat dalam konflik ini. Sehingga akhirnya harus mendapatkan intervesi dari pihak ketiga, khususnya yaitu Uni Afrika. Di sini, Uni Afrika memiliki peran yang cukup penting dalam membantu menyelesaikan masalah ini. Dimana Uni Afrika mengerahkan segala upaya untuk membantu penyelesaian konflik kemanusiaan ini.

Upaya – upaya sebagai Uni Afrika fasilitator, mediator, pengawas, serta membentuk pasukan perdamaian bisa dikatakan sudah menunjukkan hasil yang cukup membantu. Walaupun belum menunjukkan hasil yang maksimal dan belum menyelesaikan masalah ini secara tuntas, tetapi setidaknya upaya – upaya ini sudah menjadi titik terang bagi upaya penyelesaian selanjutnya. Dan walaupun belum maksimal, Uni Afrika sudah berupaya keras untuk menyelesaikan masalah ini, serta menunjukkan itikadnya sebagai organisasi regional yang benar – benar peduli untuk membantu masalah negara anggotanya.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Abdul Hadi, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika, Bandung :CV. Angkasa , 2008,

Chandrawati, Nurani , “Menelaah Hubungan Timbal Balik antara Konflik Internal Dengan Masalah Kemiskinan”. Jurnal Politik Internasional Global vol. 8 No. 1 November 2005

Fisher, Simon, et.al, Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi (Alih bahasa oleh SN Karikarni, et.al) Jakarta, Zed Public dan British Council, 2000

http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel ef.htm

Levinson, David, Ethnic Relations :A Cross-Cultural Encyclopedia, ABC-CLIO Inc, 1947

DW, Bowet, The Law of International Institutions, 2nd ed, London, Butterworth, 1970

Situmorang, Andre Pareira (ed), Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999

Oxford University Press, Oxford Learner’s Pocket Dictionary (China : Oxford University Press, 2003)

Bandoro, Bantarto, “Diplomasi Indonesia : Dahulu, Kini, dan Masa Depan” dalam Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Jakarta : CSIS, 1994)

Leifer, Michael, Politik Luar Neger Indonesia ,Jakarta : PT. Gramedia, 1989

Martin, Guy, “Conflict Resolution in Africa” http://www.grandslacs.net/doc/1178.pdf

.

Article 4 The Constitutive Act of The African Union”

African Union, “Report of The Chairperson of The Commission on The Situation in The Sudan”, http//www.africa-union.org/DARFUR/



[1] Dr. Abdul Hadi Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika, Bandung :CV. Angkasa , 2008, hal. 122

[2] Dr. Abdul Hadi Adnan, Perkembangan Hubungan Internasional di Afrika, Bandung :CV. Angkasa , 2008, hal. 126

[3] Nurani Chandrawati, “Menelaah Hubungan Timbal Balik antara Konflik Internal Dengan Masalah Kemiskinan”. Jurnal Politik Internasional Global vol. 8 No. 1 November 2005 hal. 40

[4] Simon Fisher, et.al, Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi (Alih bahasa oleh SN Karikarni, et.al) Jakarta, Zed Public dan British Council, 2000 hal. 4

[5] El Fatih A. Abdel Salam “Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik” dalam http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel ef.htm diakses pada 20 Mei 2010 pukul 16.16

[6] David Levinson, Ethnic Relations :A Cross-Cultural Encyclopedia, ABC-CLIO Inc, 1947 hal. 63-64

[7] Bowet, DW, The Law of International Institutions, 2nd ed, London, Butterworth, 1970, hal. 5-6

[8] Situmorang dalam Andre Pareira (ed), Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 135

[9] Oxford University Press, Oxford Learner’s Pocket Dictionary (China : Oxford University Press, 2003), hlm. 121

[10] Bantarto Bandoro, “Diplomasi Indonesia : Dahulu, Kini, dan Masa Depan” dalam Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (Jakarta : CSIS, 1994), hlm. 46

[11] Michael Leifer, Politik Luar Neger Indonesia (Jakarta : PT. Gramedia, 1989), hlm. 72

[12] Ibid, hlm. 47

[13] Guy Martin, “Conflict Resolution in Africa” dalam http://www.grandslacs.net/doc/1178.pdf diakses pada 20 Mei 2010 pukul 16.30 WIB

[14] Ibid.

[15] “Article 4 The Constitutive Act of The African Union”

[16] African Union, “Report of The Chairperson of The Commission on The Situation in The Sudan”, 13 April 2004 dalam http//www.africa-union.org/DARFUR/ diakses pada 20 Mei 2010 pukul 15.20 WIB

1 komentar:

  1. Nice article. Great jobs! Akan lebih baik jika pembahasan tentang peran dielaborasi lebih jauh dengan paparan dinamika prosesnya.

    BalasHapus