Rabu, 02 Juni 2010

PERAN MARTI AHTISAARI DALAM PROSES PERDAMAIAN ACEH OLEH: MOHAMMAD HILAL TAWAKKAL (203000148)

PERAN MARTI AHTISAARI DALAM PROSES PERDAMAIAN ACEH
OLEH: MOHAMMAD HILAL TAWAKKAL (203000148)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh sebagai salah satu provinsi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki sejarah perjuangan panjang untuk membantu Indonesia bebas dari kolonialisasi negara-negara barat. Sejak abad ke 16 rakyat Aceh sudah mulai melakukan perang melawan penjajahan orang-orang Portugis dan menantang penjajah Belanda dari tahun 1873 sampai 1913, selain itu rakyat Aceh melakukan perlawanan terhadap pemberontakan Darul Islam pada tahun 1953 yang memilii tujuan untuk mendirikan sebuah Negara Islam di seluruh wilayah Indonesia, sama seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan p-ada saat itu.
Namun pemberontakan tersebut berakhir pada tahun 1962, ketika, pemerintahan presiden Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi yang luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Namun, selama puluhan tahun, janji tersebut secara umum tidak dapat dipenuhi.
Sehingga membuat munculnya pemberontakan separatis di Aceh yang dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan diikuti para pengikut setianya yang dulu pernah terlibat dalam pemberontakan Darul Islam. Namun kali ini pemberontakan yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Tidak lama berselang pasca deklarasi kemerdekaan yang dilakukan oleh pihak GAM tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai melakukan penyerangan terhadap pasukan pemerintah dan membuat kembali pemerintah melakukan operasi penumpasan pemberontakan dan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Sampai pada tahun 1992 pemerintah mulai mengendalikan situasi sepenuhnya. Akan tetapi operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) besar-besaran, membuat masyarakat hampir diseluruh wilayah Indonesia melakukan kecaman terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi perhatian masyarakat tidak lama setelah Presiden Soeharto turun dari kekuasaannya pada bulan Mei 1998.
Dan mulai saat itulah titik terang perdamaian di Aceh mulai terlihat, pasca reformasi pemerintah mulai melakukan banyak perundingan dengan pihak GAM untuk mengatasi konflk di Aceh. Namun untuk menciptakan sebuah perdamaian diantara dua pihak yang telah lama berkonflik harus melewati proses negosiasi yang cukup panjang, dan sampai melibatkan pihak mediator yang berposisi sebagai pihak yang netral untuk mengatasi konflik dan memperlancar terciptanya proses perdamaian, salah satu mediator yang berperan cukup aktif dalam penyelesaian konflik di Aceh adalah Marti Ahtisaari yang juga merupakan mantan presiden Finlandia.
B. Identifikasi Masalah
Aceh sejak dari dulu dikenal sebagai salah satu daerah di wliayah NKRI yang kaya akan sumber daya alam khsusnya migas, kekayaan alam Aceh dipercaya mampu menopang peekonomian Indonesia dalam kurun waktu yang cukup panajang, sehingga banyak pihak memiliki kepentingan terhadap sumber daya alam tersebut termasuk pemerintah pusat Indonesia, atas ketidakadilan kesejahteraan ekonomi tersebut, menjadi salah satu faktor pemicu munculnya konflik di Aceh
Bukan hanya masalah ketidakadilan kesejahteraan ekonomi, masalah ideologis juga menjadi salah satu faktor pemicu konflik. Aceh juga dikenal dari dulu sebagai salah satu daerah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, dimana Aceh sebagai daerah strategis dan memiliki sejarah panjang tentang penyebaran Islam di Indonesia tidak lepas dari pengaruh ideologi tersebut dalam menjalankan kehidupan masyarakat sehari-hari, dan masalah tersebut tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga menimbulkan konflik di Aceh yang berkepanjangan.
Untuk itu dalam penyelesaian konflik yang berkepanjangan di Aceh yang juga dibumbui oleh pelanggaran HAM, pemerintah memerlukan banyak bantuan dari pihak luar untuk mengatasi konflik yang ada, bantuan pihak dari luar bertujuan bukan untuk melakukan intervensi akan tetapi untuk menjadi mediator netral dan mempermudah sekaligus penengah dalam negosiasi konflik sehingga dalam proses perdamaian mampu menghasilkan solusi yang terbaik.
C. Kerangka Pemikiran
Dalam melakukan penulisan ilmiah sebuah analisa deskriptif tentunya harus didukung oleh teori-teori untuk menganalisa fenomena yang terjadi, khusus dalam masalah proses perdamaian konflik di Aceh ada beberapa teori yang relevan seperti neoliberalisme yang memandang bahwa individu, negara dan aktor non-negara dapat bekerjasama untuk mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan untuk kepentingan bersama dapat direalisasikan.
Selain itu perdamaian yang diinginkan bermaksud untuk merealisasikan kepentingan nasional, khususnya bagi Indonesia yang menginginkan dari terciptanya perdamaian dapat membuat keamanan dan ekonomi menjadi stabil di Aceh yang merupakan bagian dari NKRI. Adapun konsep kepentingan nasional yang dimaksud oleh Hans J. Morgenthau adalah sebagai berikut:”The concept of the national interest, then, contains two elements, one that is logically required and in that sense necessary, and one that is variable and determined by circumstances.” Sehingga bisa dikatakan konsep kepentingan nasional menurut Morgenthau terbagi atas dua elemen pokok yaitu didasarkan pada pemenuhan kebutuhan sendiri dan mempertimbangkan kondisi lingkungan strategis sekitar.
Namun dalam sebuah kesepakatan perdamaian yang dilakukan oleh dua pihak dalam melakukan kegiatan ekonomi dan politik pasti akan tertuang dalam kesepakatan tertulis yang biasanya diawali melalui proses negosiasi yang panjang, dalam kasus negosiasi menuju perdamaian di Aceh terdapat kombinasi dua model negosiasi yang berbentuk teori negosiasi strategis (Game Theory) dan behavioral negotiation theory, teori negosiasi strategis memiliki pengertian suatu proses negosiasi bertujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pihak yang bernegosiasi dan akan selalu mencoba untuk memperkecil resiko yang diterima, dan game theory memiliki dua pendekatan yaitu pendekatan aksiomatik dan pendekatan strategis. Dalam pendekatan aksiomatik dilakukan berdasarkan aksioma yang menguntungkan dan bertujuan untuk mendapatkan solusi berorienrtasi makro, sedangkan pendekatan strategis yang terfokus pada pihak yang bernegosiasi untuk menerapkan strategi dalam suatu negosiasi. Teori negosiasi strategis biasanya mengikuti doktrin Harsanyi yang bertujuan untuk menganalisis proses negosiasi yang mengarah pada konsep perluasam, struktur pembayaran dan informasi agar terarah dalam beberapa poin penting dalam bentuk penawaran, jangka waktu, informasi, serta fungsi kebutuhan.
Dalam proses perdamaian di Aceh, teori negosiasi strategis memiliki kombinasi dengan behavioral negotiation theory yang memiliki dua kerangka yaitu Kerangka konstektual yang terdiri dari hal-hal pasti dan biasanya terdapat dalam setiap negosiasi yang bersifat statis, dan terfokus pada kepentingan dan power, sedangkan kerangka dinamis memiliki karakter yang cenderung berubah-ubah dalam proses negosiasi dan tergantung pada waktu dan situasi.
BAB II
KONFLIK ACEH DAN PROSES PERDAMAIANNYA
A. Penyebab Konflik Aceh
Konflik merupakan suatu hal yang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia, apalagi ketika rakyat merasakan ketidakadilan ditindas yang dilakukan oleh pemerintah sendiri, apabila dilihat dari latar belakang sejarah, Aceh merupakan salah satu daerah yang meliki peran penting untuk merebut kemerdekaan Indonesia, pengorbanan rakyat Aceh berwujud dalam berbagai macam mulai dari tenaga, jiwa sampai harta benda.
Pada awal mula kemerdekaan Indonesia, rakyat Aceh berharap agar pemerintah Republik Indonesia (RI) hanyalah hak mengurus daerah mereka sendiri berdasarkan syariat Islam yang telah dijanjikan oleh Soekarno pada tanggal 16 Juni 1948, akan tetapi janji Soekarno tidak dapat terpenuhi. Sehingga muncul berbagai gerakan perlawanan yang menuntut keadilan yaitu Gerakan Darul Islam yang dipimpin langsung oleh Gubernur Aceh Waktu itu Daud Beureueh.
Setelah itu bentuk perlawanan rakyat Aceh berwujud dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976-2005 yang merupakan sebuah gerakan garis keras yang menuntut kebebasan dengan perlawanan gerilya. Dari gerakan yang dilakukan oleh GAM membuat adanya pemberlakuan DOM di Aceh atau sering disebut Oprasi Jaring Merah, operasi tersebut pada umumnya tersebar hanya pada 3 wilayah, yaitu Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie. Berbagai tindakan kekerasan selama masa DOM secara jelas menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi merupakan kekerasan yang tertata dengan rapi, terencana dan terorganisasi dengan ditandai berdirinya berbagai Pos Satuan Taktis yang tersebar di tiga wilayah tersebut.
Berbagai konflik yang terjadi setelah wilayah Aceh ditetapkan menjadi Daerah Oprasi Militer (DOM) pada tahun 1989, telah banyak terjadi pelanggaran kemanusiaan seperti pemerkosaan, pembunuhan dan kekerasan yang merupakan bukti dari perlakuan aparat keamanan Indonesia yang tidak bermoral.
Pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk telah menjadi rahasia umum di Aceh. Berbagai bentuk kekerasan yang terjadi merupakan bentuk perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji yang dilakukan oleh militer Indonesia dalam mengatasi konflik Aceh. Selain itu pihak militer Indonesia pada saat DOM telah menghilangkan nyawa manusia yang mencapai 10.000 jiwa.
Selama bertahun-tahun masyarakat Aceh merasakan tragedi yang tidak akan pernah bisa dilupakan, DOM merupakan masa krisis yang terparah dalam jangka waktu 29 tahun. Dengan keputusan pemerintah akhirnya pada tahun 1998 DOM dicabut karena dianggap telah terjadi banyak penindasan HAM yang membuat rakyat Aceh semakin tegas sesuai tuntutan mereka, dan kemauan rakyat dalam menuntut keadilan semakin berkibar. Namun pada saat DOM berakhir masalah konflik Aceh terus menjadi isu yang hangat di dunia internasional, kususnya pada isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah RI yang melakukan tindakan militer sehingga menyebabkan banyak nyawa yang hilang dan menimbulkan begitu banyaknya lahir yatim dan janda akibat pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu, tapi kondisi tersebut tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah sendiri.
B. Proses Perdamaian Aceh
Pada akhir tahun 2004 sebuah peristiwa alam terbesar terjadi di Aceh, pada bulan Desember 2004 telah terjadi tsunami di Aceh yang membuat sebagian besar kehidupan di Aceh menjadi lumpuh dan mengakibatkan meninggalnya seratus ribu lebih korban jiwa, sehingga focus perhatian rakyat Aceh terpecah antara meneruskan konflik dengan pemerintah pusat atau membangun kembali kehidupan di Aceh pasca tsunami. Memang dibalik bencana yang terjadi terdapat hikmah yang besar, karena pasca tsunami hati rakyat Aceh menjadi luluh dan bersedia damai dengan pemerintah, semua itu dilakukan agar kehidupan di Aceh kembali stabil.
Untuk itu langkah yang ditempuh pemerintah dan GAM pada saat itu berwujud dalam tindakan formal yang berupa kesepakatan damai yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada Agustus 2005. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang konflik di Aceh, Pemerintah RI dan GAM dengan bantuan mediasi sebuah lembaga independen, berhasil membuat kesepakatan dengan ditandantanganinya Nota Kesepahaman (MoU) di Helsinki, Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005. Meskipun pada awalnya berbagai pertemuan antara kedua belah pihak dengan mediasi pihak independen sering gagal membuat kesepakatan.
Nota Kesepahaman yang ada merupakan sebuah kontrak politik untuk penyelesaian damai konflik berkepanjangan yang terjadi di Aceh. Pelaksanaan atas butir-butir kesepakatan yang tertuang dalam dokumen tersebut sangat penting dalam membangun kepercayaan antara kedua belah pihak. Karena kepercayaan merupakan prasyarat utama dalam upaya membangun perdamaian dan perubahan atas kesepakatan tersebut harus disetujui oleh kedua belah pihak, karena pelanggaran kesepakatan secara sepihak akan berakibat fatal.
Beberapa tahapan harus dilewati dalam penciptaan kesepakatan perdamaian dari sudut pandang resolusi konflik, ada beberapa fase mulai dari bagaimana mengambil jalan tengah dari perbedaan-perbedaan untuk menemukan sebuah kesepakatan yang akan diwujudkan ke dalam perjanjian formal antara pihak-pihak yang berkonflik.
Selain itu ada tahapan penjagaan perdamaian, yaitu tahap realisasi terhadap kesepakatan damai selama proses penjagaan perdamaian. Dalam tahapan ini merupakan tahapan yang paling penting dalam menjaga perdamaian karena dianggap paling krusial dan rawan, untuk itu dalam tahapan menjaga perdamaian terdapat beberapa tantangan yakni di bidang program, monitoring, dan problem perusak perdamaian. Di bidang program, tolak ukur keberhasilan untuk mengimplementasikan kesepakatan damai di Aceh sangat tergantung pada perlucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi.
Selain itu dalam kesepakatan damai Aceh terdapat tahapan demobilisasi pasukan, dalam bentuk penarikan pasukan nonorganik TNI dari Provinsi Aceh dan penyatuan kembali pasukan GAM ke dalam masyarakat. Dan proses pelaksanaan ketiga program tersebut akan sangat bergantung pada efektifitas pengawasan (monitoring) untuk menjamin terlaksananya kesepakatan damai. Tahapan terakhir yang tidak kalah penting adalah peace-building, yakni bagaimana membangun kembali sebuah keadaan dan tatanan sosial-politik-ekonomi di Provinsi Aceh yang dapat mencegah terjadinya kembali konflik di masa mendatang.
Berdasarkan tantangan yang ada World Acehnese Association ( WAA ) meminta
solidaritas masyarakat untuk membantu mendukung dan menjaga perdamaian Aceh.
Tokoh-tokoh dunia yang sudah bersedia membantu mengakhiri konflik di Aceh
juga terus diharapkan perannya dan diharapkan untuk membantu mendesak pemerintah Indonesia agar mematuhi isi MoU ( Memorandum Of Understanding )yang ditandatangani di Helsinski dan agar rakyat Aceh tidak merasakan trauma dengan perjanjian damai dan percaya dengan proses yang sedang berjalan, dan langkah ini bertujuan untuk meminimalisir Konflik di Aceh untuk kembali terjadi yang mengakibatkan kembali terjadinya pelanggaran HAM secara besar-besaran dan hancurnya proses demokrasi yang baru di mulai.
Martti Ahtisaari ( sebagai mediator dan mantan presiden finlandia) , Malik mahmud (pihak GAM), Hamid Awaludin (Menteri Hukum dan HAM saat itu) di desak agar terus mencari solusi terbaik semoga perdamaian di Aceh benar-benar kekal dan di nikmati oleh rakyat.
Dalam kesepakatan damai ada tuntutan agar kedua belah pihak juga harus menyelesaikan Rancaangan Undang-undang pemerintah Aceh (RUU PA) yang pada prinsipnya berisikan;
• Para pemilih (voters) di Aceh mempunyai hak mengajukan penarikan kembali (recall) anggota DPRD dan mengajukan pemberhentian sebelum habis masa jabatan Gubernur atau nama lain dan Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. (Pasal 63, ayat c dan d)
• Para pemilih (voters) di Aceh mempunyai hak mengawasi penggunaan anggaran. (Pasal 63, ayat g)
• Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal. (Pasal 65)
• Pasangan calon Gubernur atau nama lain/Wakil Gubernur atau nama lain, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau perorangan sebagai calon independen. (Pasal 59, ayat 1)
• Penduduk Aceh yang berusia 7 (tujuh) tahun sampai 15 (lima belas) tahun berhak memperoleh pendidikan dasar tanpa pungutan biaya apapun. (Pasal 169, ayat 1)
• Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengutamakan pelayanan pendidikan gratis kepada kelompok yang tidak mampu sampai jenjang pendidikan mengengah. (Pasal 169, ayat 4)
• Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan pelayanan pendidikan khusus untuk orang cacat dan anak-anak terlantar. (Pasal 169, ayat 5)
• Pemerintah dan Pemerintahan Aceh akan melakukan upaya-upaya untuk merehabilitasi korban konflik dan korban bencana alam. (Pasal 176, ayat 3)
• Setiap anak yatim dan fakir miskin berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang komprehensif dan gratis. (pasal 178, ayat 2)
• Penempatan TNI di Aceh dilakukan dengan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah Aceh dan mendapat persetujuan DPR Aceh. (Pasal 162, ayat 3)
• TNI yang bertugas di Aceh berkewajiban menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen-instrumen hak-hak asasi manusia PBB serta menghormati budaya dan adat istiadat Aceh. (Pasal 162, ayat 4)
• Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan sekurang-kurangnya 30% perempuan dan sudah berdomisili tetap di Aceh. (Pasal 65, ayat 2,6)
• Usaha-usaha perekonomian di Aceh diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan pelestarian lingkungan, penghormatan atas hak-hak rakyat setempat, pemberian peluang dan akses pendanaan seluas-luasnya kepada usaha ekonomi oleh kelompok perempuan, serta pemberian jaminan hukum bagi pengusaha dan pekerja. (Pasal 128, ayat 3)
• Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. (Pasal 168, ayat 2)
• Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota memberikan peluang kepada lembaga keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga adat, organisasi sosial, organisasi perempuan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat serta dunia usaha yang memenuhi persyaratan untuk berperan dalam bidang kesehatan. (Pasal 179, ayat 4)
• Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta penduduk Aceh berkewajiban memajukan dan melindungi hak-hak perempuan dan anak serta melakukan upaya-upaya pemberdayaan yang bermartabat, kewajiban tersebut masing-masing diatur dalam qanun Aceh. (Pasal 184, ayat 1 & 2).
BAB III
MARTI AHTISARI DAN PERANNYA DALAM PROSES PERDAMAIAN ACEH
Dalam proses perdamaian sebuah konflik yang sudah berkepanjangan tentunya tidak mudah untuk membangun proses negosiasi yang lancer, seringkali penyelesaian konflik yang sudah dalam tahapan kronis memerlukan adanya pihak netral yang bertindak sebagai mediator untuk memperlancar negosiasi dalam penyelesaian konflik, dalam proses perdamaian Aceh juga melibatkan pihak lain untuk menjadi mediator.
Mediator yang terlibat dalam proses pedamaian Aceh adalah Crisis Management Initiative (CMI) yang didirikan pada tahun 2000 oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Sebagai sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang bergerak di bidang advokasi untuk keamanan yang bersifat kontinuitas dan berbagai bentuk lainnya dari resolusi konflik. Dalam proses perdamaian Aceh CMI diminta untuk memfasilitasi perundingan antara pemerintah Indonesia dan GAM melalui komunikasi yang dilakukan antara Farid Husain (Deputi Menteri Kesejahteraan Sosial), Juha Christensen(pengusaha asal Finlandia). Perundingan dimulai setelah tsunami Desember 2004 dan menghasilkan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) pada Agustus 2005.
Dan tokoh pendiri CMI sekaligus tokoh penting dalam proses perdamaian Aceh hádala Martti Ahtisaari yang memulai karir sebagai diplomat di Kementerian Luar Negeri Finlandia pada akhir 1960an. Pertama kali Martti Ahtisaari ditempatkan sebagai duta besar untuk Tanzania pada awal 1970an, kemudian ia berperan penting dalam transisi Namibia menuju kemerdekaan pada tahun 1990. Dan atas prestasi dan pengalamannya tersebut Ahtisari terpilih sebagai Presiden Finlandia pada tahun 1994. Keterlibatannya dalam menyelesaikan sejumlah konflik, di antaranya membujuk Slobodan Milosevic untuk menarik pasukannya dari Kosovo tahun 2000, memberikan Ahtisaari reputasi yang baik sebagai mediator internasional dan pada akhir masa kepresidenannya.
Kerja keras Martti Ahtisaari dan staf CMI lainnya telah mendapatkan hasilnya, perdamaian Aceh berhasil diwujudkan melalui perjanjian damai Aceh (MoU) yang dari kesepakatan tersebut melahirkan UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh). Di negerinya sendiri, Martti Ahtisaari dianggap sebagai politisi tanpa memiliki cacat. Pemerintah yang berkuasa juga sangat mengagumi kepemimpinan Marti Ahtisaari. Setelah berhasil menyelesaikan masalah Aceh, yang pada akhirnya pemerintah Finlandia mencalonkannya sebagai penerima Nobel Perdamaian dan pada tanggal 10 Oktober 2008, Martti Ahtisaari memperoleh hadiah nobel perdamaian.



BAB IV
KESIMPULAN
Aceh sebagai salah satu provinsi dalam wilayah NKRI yang memiliki kekayaan alam berlimpah harus memiliki perhatian khusus dari pemirintah pusat dalam mengurusi politik, ekonomi dan keamanan. Karena sebelumnya di Aceh telah terjadi konflik yang cukup panjang yang dimotori oleh GAM dengan pemerintah, konflik di Aceh dipicu oleh masalah ekonomi dan ideologi merupakan salah satu sejarah konflik yang panjang pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Untuk itu dalam memperoleh perdamaian dalam konflik di Aceh yang sudah berjalan cukup panjang diperlukan fokus yang ekstra dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Apalagi sejak kejadian tsunami pada akhir tahun 2004 membuat hati rakyat Aceh yang menuntut kemerdekaan semakin melunak, namun untuk memperlancar proses perdamaian diperlukan mediator yang berposisi netral agar tercipta proses komunikasi dan negosiasi yang efektif, dalam proses perdamaian Aceh juga terdapat mediator yaitu CMI dengan tokoh utamanya adalah Marti Ahtisaari yang juga mantan presiden Finlandia. Atas peran Ahtisaari sebagai mediator antara pemerintah Indonesia dan GAM membuat proses perdamaian dari awal sampai penandatanganan MoU dama berjalan dengan lancar.






Referensi
1. Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008.
2. Hans J. Morgenthau, “Another “Great Debate”: The National Interest of the United States,”in Classics of International Relation, 3rd ed, ed. John A. Vasquest (New Jersey: Prentice Hall,1966)
3. http://kopiitudashat.wordpress.com/2008/11/28/mana-yang-lebih-baik-game-theory-atau-behavioral-negotiation-theory/, diakses pada senin 24 Mei 2010 jam 21.08
4. http://www.kbri-canberra.org.au/s_issues/aceh/articles/articles_jalanpanjang.htm diakses pada hari Senin 24 Mei 2010 jam 18.35
5. http://id.acehinstitute.org/dampak-kejahatan-ham-masa-lalu-terhadap-remaja-di-aceh/politik-hukum-dan-ham/Itemid diakses pada hari: jum’at, 14 Mei 2010 jam 23.54
6. htt0p://www.kontras.org/buku aceh damai dengan keadilan.pdf diakses pada hari: senin, 24 Mei 2010 jam 20.32.
7. http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=364&id=46&tab=0 diakses pada hari Minggu 23 Mei 2010 jam 01.27
8. http://www.hinamagazine.com/index.php/2008/01/20/perdamaian-aceh-berada-diambang-keraguan/ diakses pada Hari Sabtu 22 Mei 2010 jam 14.18
9. http://www.yappika.or.id/index.php?Itemid=69&id=31&option=com_content&task=view diakses pada hari Senin 24 Mei 2010 jam 21.08
10. http://dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/03/martti-ahtisaari.html diakses pada hari Senin 24 Mei 2010 jam 19.54

1 komentar:

  1. Pembahasan tentang peran Marthi sangat minim dan tidak mampu menunjukkan dinamika proses perannya dalam penyelesaian konflik di Aceh. Strategi apa yang dicapai? Bagiamana response dari kedua belah pihak, baik GAm dan RoI? But, it's interesting article.

    BalasHapus