Rabu, 02 Juni 2010

Kedaulatan Ossetia Selatan, hanya Mimpi atau Akan Menjadi Kenyataan

Andi Dwiputra
208000095
Pengantar Diplomasi

Kata Pengantar

Setelah berakhirnya perang dingin dan runtuhnya Negara kesatuan Soviet membuat lahirnya Negara – negara baru di Eropa. Negara-negara ini merupakan Negara – negara pecahan Soviet yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet. Dengan 3 semboyan yang dicetuskan oleh Mikhail Gorbachev yaitu glasnost, perestroika dan Demokratizatia ternyata membuat Soviet hancur dan lahirlah Negara-negara baru yang merasa dirinya diberi kemerdekaan dengan 3 semboyan tersebut. Lahirnya Negara – negara kecil ini juga ternyata menimbulkan banyak masalah di benua Eropa. Benua Eropa menjadi di kenal sebagai benua yang tidak pernah terlepas dengan perang. Konflik yang mewarnai benua Eropa ini sangatlah banyak. Dari zaman kerajaan kuno dahulu hingga saat ini, konflik-konflik tersebut masih membekas hingga saat ini. Sampai – sampai terulang kembali namun dengan cara yang lebih baru, persenjataan yang lebih baru, gaya perang yang lebih baru dan semuanya serba baru.

Kendati demikian hal tersebut tidak membuat Eropa, Soviet khususnya menjadi pesimis akan kemajuan bagi Negara – negara di Eropa ini terlebih dengan Negara – negara pecahan Uni Soviet ini. Karena, Negara – negara Uni Soviet ini kebanyakan bisa dikatakan bermodal nekat untuk bisa lepas dari Uni Soviet. Tanpa bantuan ekonomi dan pertahanan nasional yang kuat Negara – negara tersebut bisa hancur dengan sekejap. Dengan serangan dari luar atau dari dalam akan membuat Negara – negara pecahan Soviet tersebut justru malah lebih sengsara ketimbang semasa bergabung dengan Uni Soviet.

Disini saya akan membahas mengenai salah satu Negara pecahan Soviet tersebut. Akan tetapi, saya disini bukan ingin memberikan sebuah solusi pasti mengenai konflik yang terjadi. Saya hanya akan memperlihatkan bagaimana konflik ini bisa terjadi dan sekedar saran bagi pihak-pihak yang terkait dengan konflik tersebut serta pihak-pihak yang memang seharusnya menjadi pengawas perdamaian bagi seluruh Negara-negara di dunia ini. dalam tulisan saya ini, saya hanya akan memperlihatkan dari segi diplomasinya. Karena menurut saya diplomasi merupakan salah satu instrumen yang seharusnya bisa menyelesaikan konflik ini agar tidak berkepanjangan. Dan diplomasi ini juga bertujuan sebagai managemen konflik. Karena diplomasi, dinilai memiliki peranan penting bagi semua Negara – negara beserta aktor – aktornya dalam hubungan berbangsa – bangsa. Pentingnya diplomasi tidak dapat disangkal lagi. Karena dengan instrumen diplomasi ini bisa memperbaiki hubungan berbangsa – bangsa yang nantinya tertuangkan dalam kerjasama – kerjasama yang disepakati Negara – negara tersebut. Baik dalam bidang ekonomi ataupun politik, sosial dan budaya.

Bab I
Pendahuluan dan Sejarah

Dalam tulisan saya kali ini, saya ingin membahas permasalahan Krisis Ossetia dengan Georgia dimana Ossetia Selatan menginginkan independensi dari Georgia. Ossetia menyatakan bahwa dirinya adalah Negara merdeka, bukan bagian dari Negara Georgia.
Selatan Ossetia bergabung dengan Rusia pada tahun 1801, bersama dengan Georgia dan diserap ke dalam Kekaisaran Rusia. Setelah Revolusi Rusia, Ossetia Selatan menjadi bagian dari Republik Demokratik Georgia Menshevik, sedangkan Ossetia Utara menjadi bagian dari Republik Soviet Terek. "Pemerintah Georgia menuduh Menshevik Ossetians bekerja sama dengan Bolshevik Rusia. Serangkaian pemberontakan Ossetia terjadi antara 1918 dan 1920 di mana klaim yang dibuat untuk sebuah wilayah independen. Kekerasan pecah pada tahun 1920 ketika Menshevik Georgia dikirim Pengawal Nasional dan unit tentara reguler ke Tsinkhavili untuk menghancurkan pemberontakan Ossetia. Dan mengklaim bahwa sekitar 5.000 Ossetians tewas dan lebih dari 13.000 kemudian meninggal karena kelaparan . Ketegangan di kawasan itu mulai bangkit di tengah-tengah meningkatnya nasionalisme di antara kedua belah pihak, Georgia dan Ossetians pada tahun 1989. Sebelum ini, kedua komunitas dari Oblast Otonom Ossetia Selatan dari Georgia SSR telah hidup dalam damai satu sama lain kecuali untuk kegiatan 1918-1920. Kedua etnis memiliki tingkat interaksi yang tinggi dan tingkat tinggi inter marriages.
Ademon Nykhas telah dibuat pada tahun 1988. Pada tanggal 10 November 1989, dewan daerah Ossetia Selatan meminta Dewan Agung Georgia (dalam bahasa Rusia: Верховный Совет Грузии) untuk daerah yang akan ditingkatkan untuk bahwa dari "republik otonom". Pada tahun 1989, Mahkamah Agung dibentuk Dewan Georgia Georgia sebagai bahasa utama di seluruh negeri. Konflik kemudian pecah kembali menjelang akhir 1990. Rusia dan Georgia pasukan kementerian dalam negeri dikirim ke Ossetia Selatan pada bulan Desember, dengan perang dimulai pada tanggal 5 Januari 1991, ketika tentara Georgia memasuki Tskhinvali. Pertempuran ditandai oleh milisi tak terkendali yang telah mengabaikan prinsip hukum humaniter internasional. Selama perang banyak desa di provinsi Ossetia Selatan diserang dan dibakar, seperti rumah-rumah Georgia dan sekolah – sekolah di Tskhinvali, ibukota Ossetia Selatan. Akibatnya, sekitar 1.000 meninggal dan sekitar 100.000 Ossetians melarikan diri etnis wilayah dan Georgia yang tepat, paling di perbatasan ke Ossetia Utara. Sebanyak 23.000 lebih penduduk Georgia melarikan diri ke Ossetia Selatan dan menetap di bagian lain Georgia. Banyak penduduk Ossetia Selatan dimukimkan kembali di daerah tak berpenghuni di Ossetia utara dari daerah yang telah diusir oleh Stalin pada tahun 1944. menyebabkan konflik atas Ossetian dan Ingush atas hak tinggal di wilayah bekas Ingush.
Pada tahun 1992, Georgia menerima gencatan senjata untuk menghindari konfrontasi skala besar dengan Rusia. Pemerintah Georgia dan Ossetia Selatan mencapai kesepakatan untuk menghindari penggunaan kekerasan terhadap satu sama lain, dan Georgia berjanji untuk tidak menerapkan sanksi terhadap Ossetia Selatan. Namun, pemerintah Georgia masih mempertahankan kontrol atas sebagian besar dari Ossetia Selatan, termasuk kota Akhalgori. Pada tanggal 6 November 1992, Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) mendirikan suatu misi di Georgia untuk memantau operasi penjaga perdamaian. Kemudian, pada buku Conflict in Nagorno-Karabakh, Abkhazia and South Ossetia: A Legal Apparaisal karya Tim Potier disebutkan bahwa untuk pertama kalinya dibentuk sebuah pertemuan yang melibatkan Ossetia Selatan dengan Georgia dengan berbagai delegasi mulai dari pihak Rusia, Ossetia Utara(negara bagian dari Federasi Rusia), Ossetia Selatan dan Georgia plus perwakilan dari OSCE. Di buku ini juga dituliskan kutipan wawancara dari harian milik Ossetia Selatan bernama Yuzhnaya Osetiya terhadap Lyudvig Chibirov yang sempat menjadi Presiden Ossetia Selatan pada periode 1996 – 2001 mengatakan bahwa “adalah mimpi Ossetia Selatan untuk bergabung dengan Ossetia Utara”. Memang resminya Ossetia Selatan mulai memisahkan diri dari Georgia pada tahun 1990 namun Georgia selalu berusaha memasukkan Ossetia Selatan ke dalam wilayahnya yang berpuncak pada invasinya ke Ossetia Selatan pada 2004. Sejak itu hingga pertengahan tahun 2004 Ossetia Selatan secara keseluruhan damai. Pada bulan Juni 2004, ketegangan serius mulai bangkit sebagai penguasa Georgia memperkuat upaya mereka untuk membawa daerah kembali di bawah kekuasaan Tbilisi, dengan mendirikan pemerintah pro-Georgia alternatif bagi Ossetia Selatan di Tbilisi.
Pada Agustus 2008, setelah serangan Georgia Tskhinvali. Tanda bertuliskan "sekolah menengah № 6" menjadi pembukaan atas konflik yang dimulai dengan bentrokan kekerasan pada Rabu, 6 Agustus 2008 dengan kedua belah pihak mengklaim telah menembaki yang lain. otoritas separatis di Ossetia Selatan mengatakan bahwa sebuah desa di Ossetia Selatan telah di ambil alih dan di kepung oleh Georgia hingga menewaskan enam Ossetians. Kementerian dalam negeri Georgia mengatakan pasukan Georgia hanya membalas tembakan setelah Ossetia Selatan mengepung daerah desa yang dikuasai Georgia dan melukai enam warga sipil dan satu polisi Georgia . Kementerian dalam negeri Georgia menuduh Ossetia Selatan atas dakwaan “Percobaan menciptakan Eskalasi Serius, Ilusi Perang”. Selain itu, komandan unit penjaga perdamaian Georgia, Kurashvili, menuduh pasukan penjaga perdamaian Rusia berpartisipasi dalam penembakan desa Georgia di Ossetia Selatan. Pada tanggal 7 Agustus, pasukan Georgia dan Ossetia menyetujui gencatan senjata. Namun, pada jam pertama 8 Agustus 2008, Georgia melancarkan serangan besar-besaran. Menurut sebuah laporan yang dibuat oleh pemerintah Georgia, pasukan Georgia harus bertindak setelah sejumlah besar tentara Rusia dan sekitar 150 kendaraan lapis baja dan truk mulai menyerang wilayah Georgia melalui terowongan Roki pada malam tanggal 7 Agustus dan Rusia dan milisi ossetia memulai pemboman artileri berat dari desa Tamarasheni Georgia yang terletak di pinggiran Tskhinvali. Namun, sebuah kelompok monitoring OSCE di Tskhinvali tembakan artileri tidak terekam keluar dari sisi Ossetia Selatan sebelum awal pemboman Georgia, dan pejabat NATO membuktikan memang adanya pertempuran kecil tetapi tidak sebesar yang dikatakan oleh pihak Georgia.

Uni Eropa, Dewan Uni Eropa, Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan negara-negara anggota PBB yang tidak mengakui Ossetia Selatan sebagai negara merdeka. Secara De facto republik diatur oleh pemerintah separatis untuk mengadakan referendum kemerdekaan kedua pada tanggal 12 November 2006, setelah referendum pertama tahun 1992 tidak diakui oleh sebagian besar pemerintah. Menurut otoritas pemilihan Tskhinvali, referendum berbalik sebuah mayoritas untuk kemerdekaan dari Georgia mana 99% pemilih mendukung kemerdekaan Ossetia Selatan dan jumlah suara untuk pemungutan suara adalah 95% . referendum ini dimonitor oleh tim dari 34 pengamat internasional dari Jerman, Austria, Polandia, Swedia dan lainnya. Namun, itu tidak diakui secara internasional oleh PBB, Uni Eropa, OSCE, NATO dan Federasi Rusia, mengingat kurangnya partisipasi etnis Georgia dan legalitas referendum tersebut tanpa pengakuan dari pemerintah Georgia di Tbilisi. Uni Eropa, OSCE dan NATO Mengutuk referendum tersebut.sejalan dengan referendum dan pemilihan umum yang diselenggarakan separatis, gerakan oposisi Ossetia (Tokoh Ossetia Selatan untuk Perdamaian) Eduard Kokoity, Preseiden Ossetia Selatan, yang diselenggarakan pemilihan umum mereka sendiri di Contemporaneously, daerah Georgia yang dikuasai Ossetia Selatan dimana Georgia dan beberapa penduduk daerah Ossetia memilih mendukung Dmitry Sanakoyev sebagai Presiden alternatif Ossetia Selatan. Pemilihan Alternatif dari Sanakoyev mengklaim dukungan penuh dari penduduk etnis Georgia

Perumusan Masalah

1. Apakah instrumen Diplomasi berhasil dalam perumusan solusi konflik yang terjadi antara Georgia dan Ossetia Selatan ?
2. Bagaimana pihak Internasional dalam menengahi dan membantu dalam proses diplomasi antara Georgia dan Ossetia Selatan ?

BAB II
Proses Diplomasi antara Georgia dan Ossetia

Perang yang tengah berlangsung hingga kini tidak kunjung selesai karena tidak adanya niat baik dari kedua pihak yang sedang berkonflik untuk menyelesaikan konflik ini. Konflik ini tergolong cukup rumit, karena lagi – lagi konflik ini terkait dengan permasalahan Ras yang ada di Georgia maupun di Ossetia. Disamping itu terdapat kepentingan – kepentingan dari Russia yang memang ingin mengembalikan Ossetia kedalam wilayah kesatuannya. Hal ini memang sangat rumit dan kompleks mengingat banyak pihak juga yang memboncengi kepentingan terhadap konflik ini.

Dalam hal ini menurut saya Instrumen Diplomasi hanyalah sebagai upaya perdamaian secara formalitas saja tapi masih tetap saja berkonflik. Instrument diplomasi dalam konflik ini tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah instrumen yang di utamakan. Memang diplomasi dapat membantu mengupayakan perdamaian dengan mencoba mengkomunikasikan kepentingan daripada kedua pihak. Akan tetapi menurut saya, kalau instrumen Diplomasi tersebut hanya dikategorikan dengan upaya paksaan oleh pihak internasional yang tidak menginginkan perang maka akan percuma. Harus ada sebuah tindakan pasti untuk menghentikan perang tersebut. Salah satunya menurut saya hanyalah intervensi dari negara yang memiliki pengaruh besar dan organisasi internasional yang bertugas menangani perdamaian. Kenapa ? upaya diplomasi ini akan berujung sia-sia ketika sebuah negara hanya menjalankannya dengan terpaksa. Dalam konteks ini, negara yang paling berpengaruh menurut saya hanyalah Rusia sebagai negara yang paling dekat secara geografis dan secara latar belakang historis pun Georgia dan Ossetia merupakan negara pecahan Rusia dulunya. Dan Organisasi Internasional yang saya maksudkan adalah PBB dan Uni Eropa saja. Kenapa ? karena menurut saya, PBB memang sangat bertanggung jawab penuh atas konflik yang tak kunjung selesai. Dan dalam konteks ini, PBB haruslah diperbolehkan melakukan Intervensi secara langsung. Dan kenapa Uni Eropa saja ? padahal di benua Eropa terdapat NATO yang bertugas sebagai melakukan perlindungan terhadap negara anggota. Akan tetapi NATO hanyalah setiran dari Amerika Serikat yang menurut saya Amerika tidak boleh sama sekali ikut campur dalam urusan ini. Karena ditakutkan justru dengan adanya kepentingan Amerika dalam Konflik ini justru malah menambah konflik ini semakin melebar. Dengan Uni Eropa, memang sudah kewajiban bagi Uni Eropa selaku organisasi regionalisme di Eropa harulah melakukan tindakan yang tegas terhadap konflik semacam ini.

Akan tetapi perlu diingat pula kalau Rusia sendiri besar kemungkinan mendukung untuk lepasnya Ossetia Selatan, kenapa? Sebab isu pecahnya konflik ini diiringi dahulu oleh sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa Georgia hendak masuk ke dalam NATO. Saya ulangi kembali, persepsi sederhana saya akan NATO adalah Nato = Amerika Serikat. Dengan masuknya Georgia kedalam badan NATO maka wajarlah Rusia merasa semakin terancam karena membuat mereka “seolah – olah” dikepung oleh NATO. Sikap Rusia itu sendiri sangat terlihat pada artikel Kompas tertanggal 15 Agustus 2008 dengan judul “Rusia : Georgia, Lupakan Provinsimu!”. Bahkan pernyataan itu diikuti pula dengan pengiriman militer Rusia ke wilayah Ossetia Selatan. Selain itu Rusia juga membuat perjanjian dengan Ossetia Selatan agar keamanan perbatasannya dengan Georgia ditangani oleh pihak Rusia

Pihak Internasional memang hanya bisa mengutuk perbuatan atau konflik yang saling tuduh menuduh, dan kerap kali melakukan tindak kekerasan yang melanggar HAM. Akan tetapi, apa daya dari pihak Internasional ini kalau bukan organisasi yang memang mempunyai kewajiban untuk menangani konflik ini ? Kehadiran PBB dilihat sebagai ajang yang sia-sia. Tidak sama sekali berujung pada perdamaian. Justru malah bertambah panas. Seharusnya PBB langsung melakukan intervensi langsung untuk membungkam konflik ini dan turut membenahi konflik ini dengan memediasikan kedua pihak yang berseteru dan membuat sebuah resolusi dari konflik ini. Dengan begitu proses diplomasi antara Georgia dan Ossetia Selatan pun akan terlaksana lebih baik. Kalau PBB saja setengah-setengah dalam mengatasi konflik ini, bagaimana bisa PBB memaksa kedua pihak yang sedang berseteru itu untuk melakukan diplomasi. Hal tersebut hanya sia-sia saja. Kalau PBB ingin memaksakan untuk membantu menegosiasikan kedua pihak haruslah ada sebuah kekuatan yang benar-benar memaksa kedua negara tersebut untuk damai. Dan dengan begitu saya rasa diplomasi antara Georgia dan Ossetia Selatan akan berhasil dan mencapai suatu perdamaian.

BAB III
Penutup

Pada akhirnya, konflik Georgia dan Ossetia masih saja berlangsung hingga saat ini. Baku tembak antara kedua pihak masih sering terjadi. Dan tidak ada upaya yang jelas baik dari pihak-pihak yang berseteru ataupun pihak internasional untuk langsung membantu menyelesaikan konflik tersebut. Ditambah beberapa kepentingan di daerah itu membuat proses negosiasi semakin panjang dan kompleks, baik dari para instrumennya seperti Georgia, Rusia, maupun organisasi internasionalnya yang terkesan tidak serius dalam mengatasi masalah ini.

BAB IV
Kesimpulan

Berbagai macam kejadian telah mewarnai dunia perpolitikan di benua Eropa. Salah satunya adalah konflik yang terjadi antara Ossetia selatan dan Georgia. Dimana Ossetia Selatan menginginkan lepas dari Georgia. Dan Georgia pun tidak menginginkan Ossetia selatan tersebut lepas dari wilayah kesatuan negaranya. Hal ini menimbulkan sebuah dilema bagi banyak negara untuk membantu menyelesaikan konflik ini. Bagaimana tidak, keinginan Ossetia untuk independen merupakan sebuah hak terlebih lagi ketika Ossetia telah melakukan sebuah referendum pada tahun 1992 dan tahun 2004. Akan tetapi mekanisme lepasnya sebuah wilayah dari kesatuan negara tidaklah semudah itu. Harus ada pengakuan dari dunia internasional yang mendukung gerakan tersebut. Jika tidak ada dukungan maka sama saja ingin mendirikan negara yang tidak berdaulat.
Campur tangan Soviet dan Uni Eropa ternyata tidak menghasilkan apa – apa selain bertambah panjangnya konflik yang terjadi. Ditambah lagi dengan PBB yang saya pikir setengah-setengah dalam membantu mengupayakan perdamaian antara Georgia dan Ossetia Selatan. Proses diplomasi yang dipaksakan tanpa adanya sebuah kekuatan yang memaksa menurut saya sama saja bohong. Karena memang kedua pihak tidak menginginkan adanya sebuah upaya diplomasi sebelum mereka menyadari betapa lelahnya perang yang menghabiskan korban nyawa dan harta atau sebelum ada salah satu pihak yang kalah atau mengaku kalah. Seharusnya Rusia, Uni Eropa dan PBB bisa menjadi sebuah kekuatan yang bisa memaksa antara Georgia dan Ossetia untuk berdamai. Karena tanpa adanya tindakan konkrit untuk memaksa kedua pihak menurut saya sama saja diplomasi yang hanya basa-basi.

Daftar Pustaka

http://regional.kompas.com/read/2009/11/19/01520942/Georgia.Desak.Belarus.Tak.Akui.Wilayah.Separatis. diunduh pukul 19.53 tgl. 2 – 6 - 2010
http://kesehatan.kompas.com/read/2008/08/15/11003384/Rusia.Berniat.Gerogoti.Georgia diunduh pukul 18.53 tgl. 2 – 6 - 2010
http://kesehatan.kompas.com/read/2009/04/30/16533837/Rusia.Teken.Perjanjian.dengan.Abkhazia.dan.Ossetia.Selatan diunduh pada pukul 15.34 tgl. 1 – 6 – 2010
MicrosoftEncartaPremium 2009/Ossetia/map
Potier, Tim. “Conflict in Nagorno-Karabakh, Abkhazia and South Ossetia: A Legal Apparaisal”. Kluwer Law International, Den Haag, 2001, h – 133.

2 komentar:

  1. Tidak ada referensi buku? Interesting article.Dalam tulisan akademik, tidak menggunakan bahasa populer seperti yang anda lakukan.

    BalasHapus